Proses Pembuatan Simplisia
A. Waktu Panen
Panen merupakan salah satu rangkaian tahapan dalam proses
budidaya tanaman obat. Waktu, cara pemanenan dan penanganan bahan setelah panen
merupakan periode kritis yang sangat menen-tukan kualitas dan kuantitas hasil
tanaman. Oleh karena itu waktu, cara panen dan penanganan tanaman yang tepat
dan benar merupakan faktor penentu kua-litas dan kuantitas. Setiap jenis
tanaman memiliki waktu dan cara panen yang berbeda. Tanaman yang dipanen
buahnya memiliki waktu dan cara panen yang berbeda dengan tanaman yang dipanen
berupa biji, rimpang, daun, kulit dan batang. Begitu juga tanaman yang
mengalami stres lingkungan akan memiliki waktu panen yang ber-beda meskipun
jenis tanamannya sama. Berikut ini diuraikan saat panen yang tepat untuk
beberapa jenis tanaman obat.
Biji. Panen tidak bisa dilakukan secara serentak karena
perbedaan waktu pematangan dari buah atau polong yang berbeda. Pemanenan biji
di-lakukan pada saat biji telah masak fisiologis. Fase ini ditandai dengan
sudah maksimalnya pertumbuhan buah atau polong dan biji yang di dalamnya telah
terbentuk dengan sempurna. Kulit buah atau polong mengalami perubahan warna
misalnya kulit polong yang semula warna hijau kini berubah menjadi agak
kekuningan dan mulai mengering. Pemanenan biji pada tanaman se-musim yang
sifatnya determinate dilakukan secara serentak pada suatu luasan tertentu.
Pemanenan dilaku-kan setelah 60% kulit polong atau kulit biji sudah mulai
mongering. Hal ini berbeda dengan tanaman se-musim indeterminate dan tahunan,
yang umumnya dipanen secara ber-kala berdasarkan pemasakan dari biji/polong.
Buah. Buah harus dipanen setelah masak fisiologis dengan
cara me-metik. Pemanenan sebelum masak fisiologis akan menghasilkan buah dengan
kualitas yang rendah dan kuantitasnya berkurang. Buah yang dipanen pada saat
masih muda, seperti buah mengkudu, jeruk nipis, jambu biji dan buah ceplukan
akan memiliki rasa yang tidak enak dan aromanya kurang sedap. Begitu pula
halnya dengan pemanenan yang terlambat akan menyebabkan pe-nurunan kualitas
karena akan terjadi perombakan bahan aktif yang ter-dapat di dalamnya menjadi
zat lain. Selain itu tekstur buah menjadi lembek dan buah menjadi lebih cepat
busuk.
Daun. Pemanenan daun dilakukan pada saat tanaman telah
tumbuh maksimal dan sudah memasuki periode matang fisiologis dan dilakukan
dengan memangkas tanaman. Pemangkasan dilakukan dengan menggunakan pisau yang bersih
atau gunting stek. Pemanenan yang terlalu cepat menyebabkan hasil produksi yang
diperoleh rendah dan kandungan bahan bahan aktifnya juga rendah, seperti
tanaman jati belanda dapat dipanen pada umur 1 - 1,5 tahun, jambu biji pada
umur 6 - 7 bulan, cincau 3 - 4 bulan dan lidah buaya pada umur 12 - 18 bulan
setelah tanam. Demikian juga dengan pe-manenan yang terlambat menyebab-kan daun
mengalami penuaan (se-nescence) sehingga mutunya rendah karena bahan aktifnya
sudah ter-degradasi. Pada beberapa tanaman pemanenan yang terlambat akan
mempersulit proses panen.
Rimpang. Untuk jenis rimpang waktu pe-manenan bervariasi
tergantung peng-gunaan. Tetapi pada umumnya pemanenan dilakukan pada saat
tanam-an berumur 8 - 10 bulan. Seperti rimpang jahe, untuk kebutuhan eks-por
dalam bentuk segar jahe dipanen pada umur 8 - 9 bulan setelah tanam, sedangkan
untuk bibit 10 - 12 bulan. Selanjutnya untuk keperluan pem-buatan jahe asinan,
jahe awetan dan permen dipanen pada umur 4 - 6 bulan karena pada umur tersebut
serat dan pati belum terlalu tinggi. Sebagai bahan obat, rimpang di-panen
setelah tua yaitu umur 9 - 12 bulan setelah tanam. Untuk temu-lawak pemanenan
rimpang dilaku-kan setelah tanaman berumur 10 - 12 bulan. Temulawak yang
dipanen pada umur tersebut menghasilkan kadar minyak atsiri dan kurkumin yang
tinggi. Penanaman rimpang dilakukan pada saat awal musim hujan dan dipanen pada
pertengahan musim kemarau. Saat panen yang tepat ditandai dengan mulai
menge-ringnya bagian tanaman yang berada di atas permukaan tanah (daun dan
batang semu), misalnya kunyit, temulawak, jahe, dan kencur.
Bunga. Bunga digunakan dalam industri farmasi dan kosmetik
dalam bentuk segar maupun kering. Bunga yang digunakan dalam bentuk segar,
pemanenan dilakukan pada saat bunga kuncup atau setelah per-tumbuhannya
maksimal. Berbeda dengan bunga yang digunakan dalam bentuk kering, pemanenan
dilakukan pada saat bunga sedang mekar. Seperti bunga piretrum, bunga yang
dipanen dalam keadaan masih kuncup menghasilkan kadar piretrin yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bunga yang sudah mekar.
Kayu. Pemanenan kayu dilakukan setelah pada kayu terbentuk
senyawa metabolit sekunder secara maksimal. Umur panen tanaman berbeda-beda
tergantung jenis tanaman dan ke-cepatan pembentukan metabolit sekundernya.
Tanaman secang baru dapat dipanen setelah berumur 4 sampai 5 tahun, karena
apabila dipanen terlalu muda kandungan zat aktifnya seperti tanin dan sappan
masih relatif sedikit.
Herba. Pada beberapa tanaman semusim, waktu panen yang tepat
adalah pada saat pertumbuhan vegetatif tanaman sudah maksimal dan akan memasuki
fase generatif atau dengan kata lain pemanenan dilakukan sebelum ta-naman
berbunga. Pemanenan yang dilakukan terlalu awal mengakibat-kan produksi tanaman
yang kita dapatkan rendah dan kandungan bahan aktifnya juga rendah. Sedang-kan
jika pemanenan terlambat akan menghasilkan mutu rendah karena jumlah daun
berkurang, dan batang tanaman sudah berkayu. Contohnya tanaman sambiloto
sebaiknya di-panen pada umur 3 - 4 bulan, pegagan pada umur 2 - 3 bulan setelah
tanam, meniran pada umur kurang lebih 3,5 bulan atau sebelum berbunga dan
tanaman ceplukan dipanen setelah umur 1 - 1,5 bulan atau segera setelah timbul
kuncup bunga, terbentuk.
B. Cara Panen Bahan Baku Simplisia
Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus
bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang diguna-kan
dipilih dengan tepat untuk mengurangi terbawanya bahan atau tanah yang tidak
diperlukan. Seperti rimpang, alat untuk panen dapat menggunakan garpu atau
cangkul. Bahan yang rusak atau busuk harus segera dibuang atau dipisahkan.
Penempatan dalam wadah (keran-jang, kantong, karung dan lain-lain) tidak boleh
terlalu penuh sehingga bahan tidak menumpuk dan tidak rusak. Selanjutnya dalam
waktu pengangkutan diusahakan supaya bahan tidak terkena panas yang berlebihan,
karena dapat menyebab-kan terjadinya proses fermentasi/ busuk. Bahan juga harus
dijaga dari gang-guan hama (hama gudang, tikus dan binatang peliharaan).
C. Penanganan Pasca Panen
Pasca panen merupakan kelanjutan dari proses panen terhadap
tanaman budidaya atau hasil dari penambangan alam yang fungsinya antara lain
untuk membuat bahan hasil panen tidak mudah rusak dan memiliki kualitas yang
baik serta mudah disimpan untuk diproses selanjutnya. Untuk memulai proses
pasca panen perlu diperhatikan cara dan tenggang waktu pengumpulan bahan
tanaman yang ideal setelah dilakukan proses panen tanaman tersebut. Selama
proses pasca panen sangat penting diperhatikan keber-sihan dari alat-alat dan
bahan yang digunakan, juga bagi pelaksananya perlu memperhatikan perlengkapan
seperti masker dan sarung tangan. Tujuan dari pasca panen ini untuk
menghasilkan simplisia tanaman obat yang bermutu, efek terapinya tinggi
sehingga memiliki nilai jual yang tinggi. Secara umum faktor-faktor dalam
penanganan pasca panen yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
Penyortiran (Sortir Basah)
Penyortiran basah dilakukan setelah selesai panen dengan
tujuan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing, bahan yang tua
dengan yang muda atau bahan yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Bahan
nabati yang baik memiliki kandungan campuran bahan organik asing tidak lebih
dari 2%. Proses penyortiran pertama bertujuan untuk memisahkan bahan yang busuk
atau bahan yang muda dan yang tua serta untuk mengurangi jumlah pengotor yang
ikut terbawa dalam bahan.
Pencucian
Pencucian bertujuan menghilang-kan kotoran-kotoran dan
mengurangi mikroba-mikroba yang melekat pada bahan. Pencucian harus segera
di-lakukan setelah panen karena dapat mempengaruhi mutu bahan. Pen-cucian
menggunakan air bersih seperti air dari mata air, sumur atau PAM. Penggunaan
air kotor menye-babkan jumlah mikroba pada bahan tidak akan berkurang bahkan
akan bertambah. Pada saat pencucian per-hatikan air cucian dan air bilasan-nya,
jika masih terlihat kotor ulangi pencucian/pembilasan sekali atau dua kali
lagi. Perlu diperhatikan bahwa pencucian harus dilakukan dalam waktu yang
sesingkat mung-kin untuk menghindari larut dan terbuangnya zat yang terkandung
dalam bahan. Pencucian bahan dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain :
Perendaman bertingkat
Perendamana biasanya dilakukan pada bahan yang tidak banyak
mengandung kotoran seperti daun, bunga, buah dll. Proses perendaman dilakukan
beberapa kali pada wadah dan air yang berbeda, pada rendaman pertama air
cuciannya mengandung kotoran paling banyak. Saat perendaman kotoran-kotoran
yang melekat kuat pada bahan dapat dihilangkan langsung dengan tangan. Metoda
ini akan menghemat peng-gunaan air, namun sangat mudah melarutkan zat-zat yang
terkandung dalam bahan.
Penyemprotan
Penyemprotan biasanya dilakukan pada bahan yang kotorannya
banyak melekat pada bahan seperti rimpang, akar, umbi dan lain-lain. Proses
penyemprotan dilakukan de-ngan menggunakan air yang ber-tekanan tinggi. Untuk
lebih me-nyakinkan kebersihan bahan, ko-toran yang melekat kuat pada bahan
dapat dihilangkan langsung dengan tangan. Proses ini biasanya meng-gunakan air
yang cukup banyak, namun dapat mengurangi resiko hilang/larutnya kandungan
dalam bahan.
Penyikatan (manual maupun otomatis)
Pencucian dengan menyikat dapat dilakukan terhadap jenis
bahan yang keras/tidak lunak dan kotoran-nya melekat sangat kuat. Pencucian ini
memakai alat bantu sikat yang di- gunakan bentuknya bisa bermacam-macam, dalam
hal ini perlu diper-hatikan kebersihan dari sikat yang digunakan. Penyikatan
dilakukan terhadap bahan secara perlahan dan teratur agar tidak merusak
bahannya. Pem-bilasan dilakukan pada bahan yang sudah disikat. Metode
pencuci-an ini dapat menghasilkan bahan yang lebih bersih dibandingkan de-ngan
metode pencucian lainnya, namun meningkatkan resiko kerusa-kan bahan, sehingga
merangsang tumbuhnya bakteri atau mikroorganisme.
Penirisan / Pengeringan
Setelah pencucian, bahan lang-sung ditiriskan di rak-rak
pengering. Khusus untuk bahan rimpang pen-jemuran dilakukan selama 4 - 6 hari.
Selesai pengeringan dilakukan kem-bali penyortiran apabila bahan lang-sung
digunakan dalam bentuk segar sesuai dengan permintaan.
Perajangan
Perajangan pada bahan dilakukan untuk mempermudah proses
selanjutnya seperti pengeringan, pengemasan, penyulingan minyak atsiri dan
penyimpanan. Perajangan biasanya hanya dilakukan pada bahan yang ukurannya agak
besar dan tidak lunak seperti akar, rim-pang, batang, buah dan lain-lain.
Ukuran perajangan tergantung dari bahan yang digunakan dan ber-pengaruh
terhadap kualitas simplisia yang dihasilkan. Perajangan terlalu tipis dapat
mengurangi zat aktif yang terkandung dalam bahan. Sedangkan jika terlalu tebal,
maka pengurangan kadar air dalam bahan agak sulit dan memerlukan waktu yang
lama dalam penjemuran dan kemungkinan besar bahan mudah ditumbuhi oleh jamur.
Pengeringann
Pengeringan adalah suatu cara pengawetan atau pengolahan
pada bahan dengan cara mengurangi kadar air, sehingga proses pem-busukan dapat
terhambat. Dengan demikian dapat dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudah
rusak dan tahan disimpan dalam waktu yang lama Dalam proses ini, kadar air dan
reaksi-reaksi zat aktif dalam bahan akan berkurang, sehingga suhu dan waktu
pengeringan perlu diperhati-kan. Suhu pengeringan tergantung pada jenis bahan
yang dikeringkan. Pada umumnya suhu pengeringan adalah antara 40 - 600C dan
hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar
air 10%. Demikian pula de-ngan waktu pengeringan juga ber-variasi, tergantung
pada jenis bahan yang dikeringkan seperti rimpang, daun, kayu ataupun bunga.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pro-ses pengeringan adalah kebersihan
(khususnya pengeringan mengguna-kan sinar matahari), kelembaban udara, aliran
udara dan tebal bahan (tidak saling menumpuk). Penge-ringan bahan dapat
dilakukan secara tradisional dengan menggunakan sinar matahari ataupun secara
mo-dern dengan menggunakan alat pe-ngering seperti oven, rak pengering, blower
ataupun dengan fresh dryer.
Pengeringan hasil rajangan dari temu-temuan dapat dilakukan
de-ngan menggunakan sinar matahari, oven, blower dan fresh dryer pada suhu 30 -
500C. Pengeringan pada suhu terlalu tinggi dapat merusak komponen aktif,
sehingga mutunya dapat menurun. Untuk irisan rim-pang jahe dapat dikeringkan
meng-gunakan alat pengering energi surya, dimana suhu pengering dalam ruang
pengering berkisar antara 36 - 450C dengan tingkat kelembaban 32,8 - 53,3%
menghasilkan kadar minyak atsiri lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan
matahari lang-sung maupun oven. Untuk irisan temulawak yang dikeringkan dengan
sinar matahari langsung, sebelum dikeringkan terlebih dulu irisan rimpang
direndam dalam larutan asam sitrat 3% selama 3 jam. Selesai peren-aman irisan
dicuci kembali sampai bersih, ditiriskan kemudian dijemur dipanas
matahari. Tujuan dari perendaman adalah untuk mencegah terjadinya
degradasi kur-kuminoid pada simplisia pada saat penjemuran juga mencegah
peng-uapan minyak atsiri yang berlebihan. Dari hasil analisis diperoleh kadar
minyak atsirinya 13,18% dan kurkumin1,89%.
Di samping menggunakan sinar matahari langsung, penjemuran
juga dapat dilakukan dengan menggunakan blower pada suhu 40 - 500C. Kelebihan
dari alat ini adalah waktu penjemuran lebih singkat yaitu sekitar 8 jam,
di-bandingkan dengan sinar matahari membutuhkan waktu lebih dari 1 minggu.
Pelain kedua jenis pengeri-ng tersebut juga terdapat alat pengering fresh
dryer, dimana suhunya hampir sama dengan suhu ruang, tempat tertutup dan lebih
higienis. Kelemahan dari alat ter-sebut waktu pengeringan selama 3 hari. Untuk
daun atau herba, penge-ringan dapat dilakukan dengan me-nggunakan sinar
matahari di dalam tampah yang ditutup dengan kain hitam, menggunakan alat pengering
fresh dryer atau cukup dikering-anginkan saja.
Pengeringan dapat menyebabkan perubahan-perubahan hidrolisa
enzi-matis, pencokelatan, fermentasi dan oksidasi. Ciri-ciri waktu pengering-an
sudah berakhir apabila daun atau-pun temu-temuan sudah dapat di-patahkan dengan
mudah. Pada umumnya bahan (simplisia) yang sudah kering memiliki kadar air ± 8
- 10%. Dengan jumlah kadar air tersebut kerusakan bahan dapat ditekan baik
dalam pengolahan mau-pun waktu penyimpanan.
Penyortiran (Sortir Kering).
Penyortiran dilakukan bertujuan untuk memisahkan benda-benda
asing yang terdapat pada simplisia, misalnya akar-akar, pasir, kotoran unggas
atau benda asing lainnya. Proses penyortiran merupakan tahap akhir dari
pembuatan simplisia kering sebelum dilakukan pengemasan, penyimpanan atau
pengolahan lebih lanjut. Setelah penyortiran simplisia ditimbang untuk
mengetahui rendemen hasil dari proses pasca panen yang dilakukan.
Pengemasan
Pengemasan dapat dilakukan terhadap simplisia yang sudah
di-keringkan. Jenis kemasan yang di-gunakan dapat berupa plastik, kertas maupun
karung goni. Persyaratan jenis kemasan yaitu dapat menjamin mutu produk yang
dikemas, mudah dipakai, tidak mempersulit pena-nganan, dapat melindungi isi
pada waktu pengangkutan, tidak beracun dan tidak bereaksi dengan isi dan kalau
boleh mempunyai bentuk dan rupa yang menarik.
Berikan label yang jelas pada tiap kemasan tersebut yang isinya menuliskan ;
nama bahan, bagian dari tanaman bahan yang digunakan, tanggal pengemasan,
nomor/kode produksi, nama/alamat penghasil, berat bersih, metode penyimpanan.
Penyimpanan
Penyimpanan simplisia dapat di-lakukan di ruang biasa (suhu
kamar) ataupun di ruang ber AC. Ruang tempat penyimpanan harus bersih, udaranya
cukup kering dan ber-ventilasi. Ventilasi harus cukup baik karena hama menyukai
udara yang lembab dan panas. Perlakuan sim-plisia dengan iradiasi sinar gamma
dosis 10 kGy dapat menurunkan jumlah patogen yang dapat meng-kontaminasi
simplisia tanaman obat (Berlinda dkk, 1998). Dosis ini tidak merubah kadar air
dan kadar minyak atsiri simplisia selama penyimpanan 3 - 6 bulan. Jadi sebelum
disimpan pokok utama yang harus diperhati-kan adalah cara penanganan yang tepat
dan higienes.
Obat tradisional bukan hal yang baru bagi masyarakat
Indonesia. Sebelum obat-obat kimia berkembang secara modern, nenek moyang kita
umumnya menggunakan obat-obatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
untuk mengatasi problem kesehatannya. Dari tumbuhan obat tersebut dapat dibuat
berbagai produk yang
sangat bermanfaat dalam menunjang industri obat tradisional, farmasi, makanan
dan minuman. Ragam bentuk hasil olahannya, antara lain berupa simplisia.
Simplisia adalah bahan baku alamiah yang digunakan untuk membuat ramuan obat
tradisional yang belum mengalami pengolahan pengeringan. Proses pembuatan
simplisia pada prinsipnya meliputi tahaptahap pencucian, pengecilan ukuran dan
pengeringan.
Macam-Macam Teknik Pembuatan Simplisia dan Sediaan Obat
(Ekstraksi, Maserasi, dan Perkolasi)
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan
bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang
diinginkan tanpa melarutkan material lainnya.
Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu bahan dari campurannya, ekstraksi
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Ekstraksi menggunakan pelarut didasarkan
pada kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran (Suyitno, 1989).
Ekstraksi padat cair atau leaching adalah transfer difusi komponen terlarut
dari padatan inert ke dalam pelarutnya. Proses ini merupakan proses yang
bersifat fisik karena komponen terlarut kemudian dikembalikan lagi ke keadaan
semula tanpa mengalami perubahan kimiawi. Ekstraksi
dari bahan padat dapat dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam
solven pengekstraksi. Ekstraksi berkelanjutan diperlukan apabila padatan hanya
sedikit larut dalam pelarut. Namun sering juga digunakan pada padatan yang
larut karena efektivitasnya. [Lucas, Howard J, David Pressman. Principles and
Practice In Organic Chemistry]
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi adalah :
· Tipe persiapan sample
· Waktu ekstraksi
· Kuantitas pelarut
· Suhu pelarut
· Tipe pelarut
Ekstraksi bahan makanan biasa dilakukan untuk mengambil senyawa pembentuk rasa
bahan tersebut. Misalnya senyawa yang menimbulkan bau dan/atau rasa tertentu.
Secara umum, terdapat empat situasi dalam menentukan tujuan ekstraksi :
Senyawa kimia telah diketahui identitasnya untuk diekstraksi dari organisme.
Dalam kasus ini, prosedur yang telah dipublikasikan dapat diikuti dan dibuat
modifikasi yang sesuai untuk mengembangkan
proses atau menyesuaikan dengan kebutuhan pemakai. Bahan diperiksa untuk
menemukan kelompok senyawa kimia tertentu, misalnya alkaloid, flavanoid atau
saponin, meskipun struktur kimia sebetulnya dari senyawa ini bahkan
keberadaannya belum diketahui. Dalam situasi seperti ini, metode umum yang
dapat digunakan untuk senyawa kimia yang diminati dapat diperoleh dari pustaka.
Hal ini diikuti dengan uji kimia atau kromatografik yang sesuai untuk kelompok
senyawa kimia tertentu. Organisme (tanaman atau hewan) digunakan dalam
pengobatan tradisional, dan biasanya dibuat dengan cara, misalnya Tradisional
Chinese medicine (TCM) seringkali membutuhkan herba yang dididihkan dalam air
dan dekok dalam air untuk diberikan sebagai obat.
Proses ini harus ditiru sedekat mungkin jika ekstrak akan melalui kajian ilmiah
biologi atau kimia lebih lanjut, khususnya jika tujuannya untuk memvalidasi
penggunaan obat tradisional.
Sifat senyawa yang akan diisolasi belum ditentukan sebelumnya dengan cara
apapun. Situasi ini (utamanya dalam program skrining) dapat timbul jika
tujuannya adalah untuk menguji organisme, baik yang
dipilih secara acak atau didasarkan pada penggunaan tradisional untuk
mengetahui adanya senyawa dengan aktivitas biologi khusus. Proses
pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif,
zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat
akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi
keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel.
Prinsip ekstraksi :
Prinsip Maserasi
Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam
cairan penyari yang sesuai selama tiga hari pada temperatur kamar terlindung
dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi
sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel
dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan
diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi).
Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan
pengadukan dan penggantian cairan penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh
dipisahkan dan filtratnya dipekatkan. Maserasi merupakan cara penyarian
sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya.
Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komonen kimia
yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan
lilin. Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya sederhana. Sedang kerugiannya
antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan
penyari yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan
yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks, dan lilin. Metode
maserasi dapat dilakukan dengan modifikasi, seperti modifikasi maserasi
melingkar, modifikasi maserasi digesti, modifikasi maserasi melingkar
bertingkat, modifikasi remaserasi, modifikasi dengan mesin pengaduk, dan metode
Soxhletasi.
Keuntungan metode ini adalah :
Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan
tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung.
Digunakan pelarut yang lebih sedikit.
Pemanasannya dapat diatur.
Kerugian dari metode ini:
Karena pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada
wadah di sebelah bawah terus-menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan
reaksi peruraian oleh panas.
Jumlah total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan
melampaui kelarutannya dalam pelarut tertentu sehingga dapat mengendap dalam
wadah dan membutuhkan volume pelarut yang lebih banyak untuk melarutkannya.Bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok
untuk menggunakan pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi, seperti
metanol atau air, karena seluruh alat yang berada di bawah komdensor perlu
berada pada temperatur ini untuk pergerakan uap pelarut yang efektif.
Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan pelarut murni atau
campuran azeotropik dan tidak dapat digunakan untuk ekstraksi dengan campuran
pelarut, misalnya heksan :diklormetan = 1 : 1, atau pelarut yang diasamkan atau
dibasakan, karena uapnya akan mempunyai komposisi yang berbeda dalam pelarut
cair di dalam wadah.
Prinsip Perkolasi
Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan pelarut murni atau campuran
azeotropik dan tidak dapat digunakan untuk ekstraksi dengan campuran pelarut,
misalnya heksan :diklormetan = 1 : 1, atau pelarut yangdiasamkan atau dibasakan, karena uapnya akan mempunyai komposisi yang berbeda
dalam pelarut cair di dalam wadah. Perkolasi adalah cara penyarian dengan
mengalirkan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi.Keuntungan
metode ini adalah tidak memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat (marc)
telah terpisah dari ekstrak. Kerugiannya adalah kontak antara sampel padat
tidak merata atau terbatas dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut
menjadi dingin selama proses perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen
secara efisien.
No comments:
Post a Comment