PENGARUH SUHU, pH, KONSENTRASI ENZIM TERHADAP
KECEPATAN REAKSI ENZIMATIK
BAB I
PENDAHULUAN
I.1Latar Belakang
Dalam proses metabolisme di dalam tubuh terdapat berbagai macam
reaksi kimia. Rekasi kimia ini meupakan bagian dari sistem yang bekerja
spesifik dan menghasilkan senyawa-senyawa kimia. Dalam aktivitas metabolisme
kita mengenal adanya katalisator. Katalisator dalam reaksi ini disebut enzim.
Enzim adalah sekelompok protein yang berfungsi sebagai katalisator
untuk berbagai reaksi kimia dalam sistem biologik. Hampir tiap reaksi kimia
dalam sistem biologis dikatalisis oleh enzim. Sintesis enzim terjadi di dalam
sel dan sebagian besar enzim dapat diekstraksi dari sel tanpa merusak
fungsinya.
Dengan peran enzim pada hampir tiap reaksi biologis, dapat
dikatakan enzim memilki peran sangat penting. Dalam mendukung perannya sebgai
katalisator atau mempercepat reaksi yang terjadi tentu saja ada faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain kosenntrasi enzim,
konsentrasi ion hydrogen (pH), suhu dan konsentrasi substrat. Oleh karena
pentingnya enzim, maka praktikum tentang faktor yang mempengaruhi aktivitas
enzim perlu dilakukan
I.2Tujuan Percobaan
1.
Memperlihatkan kecepatan
reaksi enzimatik sampai suhu tertentu sebanding dengan kenaikan suhu. Reaksi
enzimatik mempunyai suhu optimum.
2.
Membuktikan bahwa
keasaman ( pH ) mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatik
3.
Membuktikan bahwa
kecepatan reaksi enzimatik berbanding lurus dengan konsentrasi enzim.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1Enzim
Enzim merupakan suatu kelompok protein yang berperan penting di
dalam aktivitas biologic. Enzim berfungsi sebagai katalisator si dalam sel dan
sifatnya sangat khas. Di dalam jumlah sangat kecil, enzim dapat mengatur reaksi
tertentu sehingga di dalam keadaan normal tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan hasil akhir reaksinya.di dalam sel terdapat banyak
jenis enzim yang berlainan kekhasannya, sehingga suatu enzim hanya mampu
menjadi katalisator untuk reaksi tertentu saja. Ada enzim yang dapat mengkatalisa
suatu kelompok substrat, ada pula yang hanya satu kelompok substrat saja, dan
ada pula ynag bersifat stereospesifik. Karena enzim mengkataliser reaksi-reaksi
di dalam system biologis, maka enzim juga disebut sebgai biokatalisator
Bagian protein dari enzim disebut apo-enzim, sedangkan enzim
keseluruhannya disebut haloenzim.
Bagian protein ( tak
aktif )+ non-protein = haloenzim ( aktif )
( apoenzim )( gugus
protestik )
Kespesifikan enzim
dibedakan dalam : kespesifikan optik dan gugus ( M.T Simanjuntak, 2003 ).
Kespesifikan optik tampak pada enzim-enzim yang bekerja terhadap karbohidrat.
Umumnya, enzim-enzim ini hanya bekerja terhadap karbohidrat isomer D bukan L.
Sebaliknya, enzim-enzim yang bekerja terhadap asam amino dan protein hanya
bekerja pada asam amino L dan bukan pada isomer D. Kespesifikan gugus
menunjukkan bahwa enzim hanya dapat bekerjaterhadap gugus yang tertentu. Enzim
alkohol dehidrogenase tidak dapat mengkatalisis reaksi dehidrogenasi pada senyawa
bukan alcohol ( Hafiz Soewoto,2000).
Klasifikasi enzim berdasar Commission on Enzim Of The
Internasional uinion of Biochemistry ( CEIUB ) atau Internasional Enzim
Commision ( IEC ) adalah sebgai berikut :
1.
Enzim yang berperan
dalam reaksi oksidasi-reduksi contoh oksigenase
2.
Enzim yang berperan
dalam reaksi pemindahan gugus tertentu contoh enzim transaminase
3.
Enzim yang berperan
dalam reaksi hidrolisis contoh peptidase
4.
Enzim yang berperan
dalam mengkatalisis reaksi addisi atau pemecahan ikatan rangkap contoh liase
5.
Enzim yang berperan
dalam mengkatalisis reaksi isomerisasi contoh alanin rasemase
6.
Enzim yang berperan
dalam mengkataliser reaksipembentukan ikatan dengan bantuan pemecahan ikatan
dalam ATP( ligase ) ( M.T. Simanjuntak, 2003).
Seperti molekul protein lainnya sifat biologis enzim sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor fisiko kimia. Enzim bekerja pada kondisi
tertentu yang rerlatif ketat. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerj enzim antara
lain suhu, pH, oksidasi oleh udara atau senyawa lain, penyinaran ultraviolet,
sinar x, α, β, dan γ. Di samping itu, kecepatan reaksi enzimatik dipengaruhi
pula oleh konsentrasi enzim maupun substratnya ( Hafiz Soewoto,2000).
a. Pengaruh suhu :
Suhu rendah mendekati titik beku tidak merusak enzim, namun enzim
tidak dapat bekerja. Dengan kenaikan suhu lingkungan, enzim mulai bekerja
sebagian dan mencapai suhu maksimum pada suhu tertentu. Bila suhu ditingkatkan
terus, jumlah enzim yang aktif akan berkurang karena mengalami denaturasi.
Kecepatan reaksi enzimatik mencapai puncaknya pada suhu optimum. Enzim dalam
tubuh manusia mempunyai suhu optimum sekitar 37° C. Sebagian besar enzim
menjadi tidak aktif pada pemanasan sampai ± 60° C, karena terjadi denaturasi(
Hafiz Soewoto,2000) .
Suhu campuran reaksi juga berpengaruh terhadap laju reaksi
enzimatik. Jika reaksi tersebut dilangsungkan dalam berbagai suhu, kurva
hubungan tersebut akan menunjukkan suhu tertentu, yang menghasilkan laju reaksi
yang maksimum. Dengan demikian, dalam hal ini juga ada kondisi optimum yang
disebut sebagai suhu optimum
Laju reaksi
AB
Suhu optimum t0
Pengaruh suhu terhadap laju reaksi enzimatik
Pada gambar tampak bahwa di luar suhu optimum, laju enzimatik
selalu lebih rendah. Makin besar perbedaan suhu reaksi dengan suhu
optimum, makin rendah pula laju reaksinya. Akan tetapi, keadaan yang
menyebabkan rendahnya suhu di luar suhu optimum berbeda antara suhu yang lebih
rendah dengan suhu yang lebih tinggi. Pada suhu yang lebih rendah (sisi A pada
gambar), penyebab kurangnya laju reaksi enzimatik yaitu kurangnya gerak
termodinamik, yang menyebabkan kurangnya tumbukan antara molekul enzim dengan
substrat. Jika kontak antara kedua jenis molekul itu tidak terjadi, kompleks ES
tidak terbentuk. Padahal kompleks ini sangat penting untuk mengolah S menjadi
P. Oleh karena itu, makin rendah suhu, gerak termodinamik tersebut akan makin
kurang.
Pada daerah suhu yang lebih tinggi (sisi B pada gambar), gerak
termodinamik akan lebih meningkat, sehingga tumbukan antara molekul akan lebih
sering. Akan tetapi laju reaksi tidak terus meningkat, melainkan malah menurun
dengan cara yang lebih kurang sebanding dengan selisih nilai dan suhu optimum.
Dalam peningkatan suhu ini, selain gerak termodinamik meningkat, molekul
protein enzim juga mengalami denaturasi, sehingga bangun tiga dimensinya
berubah secara bertahap. Jika suhu jauh lebih tinggi dari suhu optimum, maka
makin besar deformasi struktur tiga dimensi tersebut dan makin sukar bagi
substrat untuk menempati secara tepat di bagian aktif molekul enzim. Akibatnya,
kompleks E-S akan sukar terbentuk, sehingga produk juga makin sedikit.
Interaksi enzim-substrat dalam suhu berbeda. I.
enzim dalam suhu optimum. II. Enzim di atas suhu optimum.
Pada sisi A dari kurva terdapat hubungan tertentu antara kenaikan
suhu dengan laju reaksi. Arrhenius secara empiris telah
mengembangkan suatu rumusan umum antara laju suatu reaksi kimia dengan suhu
mutlak system reaksi tersebut. Yang dinyatakan sebagai berikut ( Mohamad
Sadikin, 2002 ):
R adalah gas yang bernilai 1,987 kal per derajat
per molar, T adalah suhu mutlak, E adalah suatu tetapan yang dinamakan energi
aktivitas dan k adalah tetapan laju reaksi.
b.Pengaruh pH :
Enzim bekerja pada kisaran pH tertentu. Jika dilakukan pengukuran
aktivitas enzim pada beberapa macam pH yang berlainan, sebagian besar enzim di
dalam tubuh akan menunjukkan aktivitas maksimum antara pH 5,0 sampai 9,0.
Kecepatan reaksi enzimatik mencapai puncaknya pada pH optimum. Ada enzim yang
mempunyai pH optimum yang sangat rendah, seperti pepsin, yang mempunyai pH
optimum 2. pada pH yang jauh di luar pH optimum, enzim akan terdenaturasi.
Selain itu pada keaadan ini baik enzim maupun substrat dapat mengalami
perubahan muatan listrik yang mengakibatkan enzim tidak dapat berikatan dengan
substrat( Hafiz Soewoto,2000) .
Sebagian besar enzim bekerja aktif dalam trayek pH yang sempit
umumnya 5 - 9. Ini adalah hasil merupakan hasilpengaruh dari pH atas kombinasi
factor ( 1 ) ikatan dari substrat ke enzim ( 2 ) aktivitas katalik dari enzim (
3 ) ionisasi substrat dan ( 4 ) variasi struktur protein ( biasanya signifikan
hanya pada pH yang cukup tinggi ) ( M.T. Simanjuntak, 2003).
Ada 2 alasan untuk
menyelidiki pengaruh tingkat keasaman atau pH terhadap aktivitas emzim, yaitu :
1.sebagai produk makhluk hidup secara teori selalu ada kemungkinan
dari pengaruh ph ini terhadap aktivitas biologis dari enzim ini.
2.sebagai suatu protein enzim tidak berbeda dengan protein
lainnya.
Kurva hubungan antara pH dengan laju reaksi suatu enzim biasanya
menghasilkan gambaran seperti lonceng, seperti yang tampak pada gambar di bawah
ini
Laju reaksi
pH optimumPh
Hubungan antara pH larutan enzim dengan laju
reaksi enzim
Kadang-kadang, seperti pada enzim amylase liur, hubungan tersebut
tidak menunjukkan suatu titik puncak, melainkan suatu garis merata (plateau
setelah kurva yang naik, untuk kemudian turun lagi sesudah plateau )
Laju reaksi
plateau
Rentangan pH optimumpH
Hubungan antara pH larutan enzim dengan laju
reaksi. Tampak adanya plateau.
Fenomena seperti ini
dapat ditafsirkan sebab adanya molekul amylase dalam bentuk beberapa molekul
protein yang berbeda (isozim). Tiap molekul isozem niscaya bekerja pada pH yang
sedikit berbeda.
Perlu diingat bahwa
dalam mencari hubungan antara derajat keasaman dengan laju reaksi maksimum ini,
rentangan pH yang diselidiki biasanya berkisar dalam rentangan yang tidak lebar
dan bukan dalam rentangan antara pH 1 sampai 14. Karena tidak ada sistem dapar
masing-masing di sekitar nilai kapasitas yang maksimum dari tiap dapar
(rentangan pH di sekitar nilai pKa komponen asam tiap dapar), bukan tidak
mengkin ada interaksi yang merugikan antara enzim dan ion penyusun dapar dan
bukan karena pH yang disebabkan dapar itu sendiri.
Dalam gambar dapat
dilihat adanya nilai pH tertentu, yang memungkinkan enzim bekerja maksimum. pH
tersebut dinamakan pH maksimum. Dalam lingkungan keasaman
seperti itu, protein enzim mengambil struktur 3 dimensi yang sangat tepat,
sehingga ia dapat mengikat dan mengolah substrat dengan kecepatan yang
setinggi-tingginya. Di luar nilai pH optimum tersebut, struktur 3 dimensi enzim
mulai berubah, sehingga substrat tidak dapat lagi duduk dengan tepat di bagian
molekul enzim yang mengolah substrat. Akibatnaya, proses katalisis berjalan
tidak optimum. Oleh karena itu, struktur 3 dimensi berubah akibat pH yang tidak
optimum ( Mohamad Sadikin, 2002).
c.Pengaruh konsentrasi enzim :
Peningkatan konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi
enzimatik. Dapat dikatakan bahwa kecepatan reaksi enzimatik (v) berbanding
lurus dengan konsentrasi enzim [E]. Makin besar konsentrasi enzim, reaksi makin
cepat( Hafiz Soewoto,2000) .
Bagaimana akibat dari perubahan konsentrasi enzim
terhadap reaksi enzimztik itu sendiri? Jawaban dari pertanyaan ini harus dicari
dari pengamatan yang dilakukan atas satu seri campuran yang terdiri atas
substrat dalam konsentrasi yang tetap dan enzim dalam konsentrasi yang
berbeda-beda, dengan volume akhir larutan yang sama. Pengamatan dapat dilakukan
terhadap dua hal, yaitu :
1. terhadap hubungan antara selang waktu pengamatan dan
konsentrasi produk yang terbentuk pada tiap konsentrasi enzim.
2. terhadap hubungan antara konsentrasi enzim dan kecepatan reaksi
enzimatik yang dikatalisis oleh enzim tersebut.
Jika data hasil kedua pengamatan tersebut masing-masing disajikan
dalam bentuk grafik, akan diperoleh kurva seperti yang tampak dalam gambar 1
dan 2.
Jumlah produk
Gambar 1. hubungan jumlah produk terbentuk dengan lama reaksi
enzimatik pada berbagai konsentrasi enzim. Tiap garis kurva mewakili satu
konsentrasi enzim.
Pada gambar 1 tampak bahwa makin besar konsentrasi enzim maka
makin banyak pula produk yang terbentuk dalam tiap waktu pengamatan. Dari
pengamatan tersebut dapat dikatakan bahwa konsentrasi enzim berbanding lurus
dengan kecepatan enzim. Dengan bertambahnya waktu, pada tiap konsentrasi enzim
pertambahan jumlah produk akan menunjukkan defleksi, tidak lagi berbanding
lurus sejalan dengan berlalunya waktu tersebut. Fenomena itu tentu mudah
dimaklumi, karena setelah selang beberapa waktu, jumlah substrat yang tersedia
sudah mulai berkurang, sehingga dengan sendirinya produk olahan enzim juga akan
berkurang. Akan tetapi pada gambar 1 tampak pula dengan jelas, bahwa defleksi
tersebut makin jelas dengan makin tingginya konsentrasi enzim. Sebaliknya, pada
konsentrasi enzim yang rendah, dalam jangka waktu pengamatan yang sama hubungan
waktu dengan jumlah produk yang dihasilkan masih berbanding lurus.
Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim ternyata
berbanding lurus. Jadi, makin besar konsentrasi enzim, maka makin cepat laju
reaksi.
Laju reaksi Enzim
Gambar 2. pengaruh konsentrasi enzim terhadap laju reaksi
enzimatik.
Kadang-kadang terjadi penyimpangan dari persamaan ini, sehingga
diperoleh garis agak melengkung. Biasanya, penyimpangan ini terjadi jika enzim
yang dipelajari tidak dalam keadaan murni, sehingga mungkin terdapat
senyawa-senyawa penghambat reaksi dalam jumlah yang sangat kecil. Sebaliknya,
penyimpangan juga terdapat dalam sediaan enzim dengan kemurniaan yang tinggi.
Dalam keadaan ini, penyimpangan disebabkan oleh senyawa pengaktif (aktivator),
misalnya tidak adanya ion tertentu, meskipun ph yang diperlukan sudah dipastikan
dengan menggunakan larutan dapar dan tidak hanya sekedar larutan dengan ph yang
diperlukan tersebut ( Mohamad Sadikin, 2002 ).
d. Pengaruh
konsentrasi substrat :
Pada suatu reaksi enzimatik bila konsentrasi substrat diperbesar,
sedangkan kondisi lainnya tetap, maka kecepatan reaksi (v) akan meningkat
sampai suatu batas kecepatan maksimum (V). Pada titik maksimum ini enzim telah
jenuh dengan substrat.
Dalam suatu reaksi enzimatik, enzim akan mengikat substrat
membentuk kompleks enzim-substrat [ES], kemudian kompleks ini akan terurai
menjadi [E] dan produk [P]. Makin banyak kompleks [ES] terbentuk, makin cepat
reaksi berlangsung sampai batas kejenuhan [ES]. Pada konsentrasi substrat [S]
melampaui batas kejenuhan kecepatan reaksi akan konstan. Dalam keadaan itu
seluruh enzim sudah berada dalam bentuk kompleks E-S. Penambahan jumlah
substrat tidak menambah jumlah kompleks E-S.
Fungsi
enzim dalam kepentingan medis. Enzim terdistribusi di tempat-tempat
tertentu di dalam sel, kurang lebih sesuai dengan golongan dan fungsinya.
Sebagai contoh, enzim-enzim yang berperan dalam sintesis dan reparasi DNA
terletak di dalam inti sel. Enzim yang mengkatalisasi berbagai reaksi yang
menghasilkan energi secara aerob terletak di dalam mitokondria. Enzim yang
berhubungan dengan berbagai biosintesis protein berada bersama ribosom. Dengan
demikian reaksi kimia dalam sel berjalan sangat terarah dan efisien.
Ada
penyakit yang disebabkan oleh abnormalitas sintesis enzim tertentu, misalnya
pada defisiensi enzim glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PDH/ G6PD).
Sel darah merah penderita defisiensi G6PDH ini sangta rentan terhadap
pembebanan oksidatif, misalnya pada pemakaian obat analgetik tertentu dan obat
anti malaria. Pada pemakaian obat-obat tersebut dapat terjadi hemolisis
intravaskuler.
Analisis
enzim dalam serum pada dasarnya dapat dipakai untuk diagnosis berbagai
penyakit. Dasar penggunaan enzim sebagai penunjang diagnosis ialah bahwa (1)
pada hakikatnya, sebagian besar enzim terdapat dan bekerja dalam sel dan (2)
bahwa enzim tertentu dibuat dalam jumlah besar oleh jaringan tertentu. Karena
itu enzim intrasel seharusnya tidak ditemukan dalam serum dan bila
ditemukan, berarti sel yang membuatnya mengalami disintegrasi. Bila enzim
yang diukur dalam serum terutama dibuat oleh jaringan atau organ tertentu, maka
peningkatan aktivitas dalam serum menunjukkan adanya kerusakan pada jaringan
atau organ tersebut ( Hafiz Soewoto,2000). .
II.2
Pati
Pati ialah polisakarida simpanan yang terdapat dalam tumbuhan
tingkat tingkat tinggi. Homopolimer ini terdiri atas campuran amilosa dan
amilopektin. Amilosa merupakan polisakarida linear dari unti-unit D-glukosa
yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4)-glukosida. Bobot molekulnya beragam dari
beberapa ribu sampai 150.000. amilosa ini menghasilkan kompleks biru-hitam yang
tajam dengan iodium akibat masuknya I2 ke dalam gelung helical
ynag terbentuk ketika amilosa berada dalam air. Amilopektin memiliki rantai
tulang punggung ( backbone ) yang sama dengan amilosa, tetapi dengan banyak
percabangan lewat ikatan α-(1,6)-glukosida. Bobot molekulnya lebih besar
daripada amilosa. Reaksi amilopektin dan iodium membentuk kompleks merah-ungu..
Pati ( mailosa maupun amilopektin ) jika terhidrolisis sempurna (
semua ikatan asetal diputus ) akan menghasilkan hanya D-glukosa. Namun jika
dihidrolisis sebagian diperoleh produk yang berbeda: amilosa menghasilkan
maltose sebagai satu-satunya disakarfida sedangkan amilopektin menghasilkan
campuran disakarida maltose dan isomaltosa. Dari hidrolisis parsial
amilopektin, juga diperoleh campuran oligosakarida yang biasa dirujuk sebgai
dekstrin, digunakan untuk membuat lem, pasta, atau kanji tekstil.
Dekstrin tidak membentuk kompleks berwarna dengan iodium.
Hidrolisis sempurna biasanya dilakukan dengan asam encer pada suhu
tinggi sedangkan hidrolisis parsial umumnya terjadi secara enzimatik. Enzim
α-amilase dalam saluran pencernaan ( air liur dan cairan pancreas ) akan
menghidrolisis rantai lurus amilosa dan amilopektin secara acak menjadi
campuran glukosa dan maltose. Enzim β-amilase pada tumbuhan secara lebih
spesifik menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit maltose. Akhirnya tambahan
enzim α-(1,6)-glukosidase dapa menghidrolisis ikatan α-(1,6)-glikosida pada titik
percabangan amilopektin dan menghasilkan hidrolisis sempurna ( Staf Pengajar
Kimia Organik IPB, 2005 ).
II.3
Enzim Amilase
Air
liur mengandung enzim amylase liur, musin, air, dan garam natrium. Fungsi dari
musin yaitu lendir yang melekatkan butir-butir makanan dan melincirkan makanan.
Sedangkan fungsi air yaitu melembabkan dan melembutkan makanan. Adapun fungsi
garam natrium yaitu menyediakan enzim beralkali untuk kerja amylase liur. Enzim
amylase sendiri di jelaskan di bawah ini.
Enzim Amilase mempunyai kemampuan untuk memecah molekul-molekul
pati dan glikogen Molekul pati yang merupakan polimer dari alfa-D-glikopiranosa
akan dipecah oleh enzim pada ikatan alfa-1,4- dan alfa-l,6-glikosida.
Secara umum, amilase dibedakan menjadi tiga berdasarkan hasil
pemecahan dan letak ikatan yang dipecah, yaitu alfa-amilase, beta-amilase, dan
glukoamilase. Enzim alfa-amilase merupakan endoenzim yang memotong ikatan
alfa-1,4 amilosa dan amilopektin dengan cepat pada larutan pati kental yang
telah mengalami gelatinisasi. Proses ini juga dikenal dengan nama proses
likuifikasi pati. Produk akhir yang dihasilkan dari aktivitasnya adalah
dekstrin beserta sejumlah kecil glukosa dan maltosa. Alfa-amilase akan
menghidrolisis ikatan alfa-1-4 glikosida pada polisakarida dengan hasil
degradasi secara acak di bagian tengah atau bagian dalam molekul. Enzim
beta-amilase atau disebut juga alfa-l,4-glukanmaltohidrolas E.C. 3.2.1.2.
bekerja pada ikatan alfa-1,4-glikosida dengan menginversi konfigurasi posisi
atom C(l) atau C nomor 1 molekul glukosa dari alfa menjadi beta. Enzim ini
memutus ikatan amilosa maupun amilopektin dari luar molekul dan menghasilkan
unit-unit maltosa dari ujung nonpe-reduksi pada rantai polisakarida. Bila
tiba pada ikatan alfa-1,6 glikosida aktivitas enzim ini akan berhenti.
Glukoamilase dikenal dengan nama lain alfa-1,4- glukan glukohidro-lase atau EC
3.2.1.3. Enzim ini menghidrolisis ikatan glukosida alfa-1,4, tetapi hasilnya
beta-glukosa yang mempunyai konfigurasi berlawanan dengan hasil hidrolisis oleh
enzim a-amilase. Selain itu, enzim ini dapat pula menghidrolisis ikatan
glikosida alfa-1,6 dan alfa-1,3 tetapi dengan laju yang lebih lambat
dibandingkan dengan hidrolisis ikatan glikosida a-1,4( http://june-s.blogspot.com/2008/05/deteksi-dan-uji-kualitas-amilase.html ).
BAB III
MATERI DAN METODE
III.1
Alat dan Bahan
Alat :
a) Beaker glass
b) Tabung reaksi
c) Pipet volume
d) Pipet tetes
e) Erlenmeyer
f) Spektrofotometri
g) Incubator
Bahan :
a) Air liur
b) Larutan pati
c) Larutan iodium
d) Larutan pH 7 dan 11
e) Aquadest
III.2
Prosedur Kerja
Sebelum
melakukan percobaan diambil sampel air liur dari praktikan dan ditempatkan pada
wadah
ü Pengaruh Suhu
a)
air liur diencerkan 100 kali, dengan mengambil 1ml air liur dari sample dan
dilarutkan dalam 100ml air dalam labu ukur
b)
larutan pati kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diberi tanda
blangko dan uji kemudian pasangan tabung diinkubasi pada suhu 40, 280,
370, 600, 1000 C selama 5 menit
c)
larutan pati dicampurkan ke dalam 0,2 ml air liur kemudian diinkubasi selama
tepat 1 menit
d)
ditambahkan larutan iodium 1 ml dan aquadest 8 ml pada
masing-masing tabung (untuk suhu 600 C dan 1000 C
dilakukan di luar penangas)
e)
dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 680
nm
f)
dihitung kecepatan reaksi enzimatik dan dibuat kurva yang menghubungkan
kecepatan reaksi dengan suhu
ü Pengaruh pH
a) Air liur diencerkan 100 kali dengan mengambil
1ml air liur dari sample dan dilarutkan dalam 100ml air dalam labu ukur
b) 0,5 ml larutan pati ditambah dengan 0,5 ml
larutan pH 7 (tabung A), o,5 ml larutan pati ditambah dengan 0,5 ml larutan pH
11 (tabung B). Masing-asing tabung ditandai blanko dan uji. Selanjutnya
diinkubasi pada suhu 370 C selama minimal 5 menit
c) campuran larutan pati dengan larutan pH yang
telah diinkubasi ditambahkan dengan 0,2 ml air liur yang telah diencerkan,
kemudian diinkubasi kembali selama tepat 1 menit.
d) ditambah larutan iodium 1 ml dan aquadest 8
ml pada masing-masing tabung
e) dilakukan pengukuran serapan dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 680 nm
f) dihitung kecepatan reaksi enzimatik dan
dibuat kurva yang menghubungkan kecepatan reaksi dengan suhu
ü Pengaruh
Konsentrasi Enzim
a) Air liur diencerkan dengan pengenceran 100
kali ; 200 kali ; 400 kali ; 600 kali
b) 1 ml larutan pati dimasukkan kedalam 8 tabung
reaksi yang diberi tanda blangko dan uji kemudian diinkubasi pada suhu 370 selama
5 menit
c) Air liur yang telah diencerkan diambil 0,2 ml
(setiap konsentrasi) dimasukkan ke dalam tabung reaksi
d) Larutan pati yang telah diinkubasi
dicampurkan ke air liur kemudian diinkubasi tepat 1 menit
e) Ditambahkan larutan iodium 1 ml dan
aquadest 8 ml pada masing-masing tabung
f) dilakukan pengukuran serapan dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 680 nm
g) dihitung kecepatan reaksi enzimatik dan
dibuat kurva yang menghubungakan kecepatan reaksi dengan suhu
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Adapun hasil percobaan
yang kami lakukan adalah sebagai berikut :
v Pengaruh Suhu
Tabel hasil pengamatan
serapan berdasarkan pengukuran spectrofotometer pada λ = 680 nm
Suhu
|
AB
|
AU
|
∆A/menit
|
40C
|
0,175
|
0,142
|
0,033
|
280C
|
0,245
|
0,194
|
0,051
|
370C
|
0,211
|
0,150
|
0,061
|
600C
|
0,226
|
0,183
|
0,043
|
1000C
|
0,255
|
0,189
|
0,066
|
Dari data di atas didapatkan kurva
v Pengaruh pH
Tabel hasil pengamatan serapan berdasarkan pengukuran
spectrofotometer pada λ = 680 nm dan perubahn warna yang terjadi
pH
|
AB
|
AU
|
∆A/menit
|
Perubahan
warna
|
7
|
0,093
|
0,1245
|
-0,0315
|
Coklat
|
11
|
0,003
|
0,011
|
-0,008
|
Biru
|
Dari data didapatkan kurva seperti di atas
Foto
di bawah ini memperlihatkan perbedaan warna hasil reaksi anatara pH 7 dan 11
Gambar1. pH
7
Gambar2. pH 11
Kiri adalah Blanko,
Kanan adalah larutan uji
v Pengaruh konsentrasi
Tabel hasil pengamatan serapan berdasarkan pengukuran
spectrofotometer pada λ = 680 nm
Konsentrasi
|
AB
|
AU
|
∆A/menit
|
|
100
X
|
0,01
|
0,207
|
0,173
|
0,024
|
200
X
|
0,005
|
0,200
|
0,120
|
0,08
|
400
X
|
0,0025
|
0,193
|
0,174
|
0,019
|
600
X
|
0,0017
|
0,185
|
0,189
|
-0,004
|
Dari
data di atas didapatkan kurva
Keterangan:
·
?A/menit pada judul tiap
kurva maksudnya adalah ∆A/menit.
·
∆A/menit diindikasikan
sebagai laju reaksi
BAB V
PEMBAHASAN
Pada
praktikum ini kami melakukan percobaan secara invitro mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi aktivitas enzim amylase yang terdapat pada air liur dalam
memecah larutan pati. Faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim diantaranya
adalah konsentrasi enzim, konsentrasi ion hydrogen (pH), suhu dan konsentrasi
substrat. Namun kami tidak melakukan praktikum mengenai pengaruh konsentrasi
substrat terhadap aktivitas enzim.
Dalam
praktikum kali ini digunakan bahan pati yang diindikasikan sebagai substrat.
Sedangkan air liur digunakan untuk mengetahui reaksi enzimatik dari enzim
amylase di dalamnya. Larutan Iodium digunakan sebagai indicator perubahan warna
dari larutan uji.
Pada
ketiga percobaan perlakuan hampir sama pada pembuatan larutan uji dan blanko.
Perlakuan yang sama pada larutan uji dan blanko yaitu sample yang sama yaitu
larutan pati yang berfungsi sebagai substrat lalu di inkubasi selama 5 menit
pada suhu 370C ( untuk percobaan pengaruh suhu dan konsentrasi
enzim ) yang berfungsi untuk menyamakan kondisi suhu enzim dengan suhu tubuh.
Lalu mencampurkan pati dengan air liur dimana pada keadaan ini akan terjadi
hidrolisis parsial. Kemudian ditambahkan Larutan iodium yang akan menandakan
perbedaan warna dari masing-masing perlakuan pada percobaan factor yang
mempengaruhi kerja enzim, larutan iodium ini merupakan indicator adanya
karbohidrat atau tidak dalam larutan.
Pengaruh
Suhu
Suhu
mempengaruhi aktivitas katalisis enzim. Diluar suhu optimum aktivitas enzim
menjadi tidak maksimal. Bila suhu terlalu rendah, enzim menjadi tidak aktif,
karena tidak terjadi benturan antara molekul enzim dengan substrat. Sedangkan
bila suhu terlalu tinggi, dimana benturan yang terjadi semakin banyak maka
struktur tiga dimensi dari enzim tersebut akan terganggu sehingga enzim akan
mengalami denaturasi, atau dapat dikatakan enzim akan kehilangan sifat
alamiahnya.
Pada
percoban mengenai pengaruh suhu terhadap aktiivitas enzim, yang pertama kami
lakukan adalah pengenceran air liur hingga 100 kali. Kami juga menggunakan
larutan pati sebagai larutan uji untuk melihat aktivitas enzim amylase. Larutan
pati dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 1 ml, yang kemudian diinkubasi
selama 5 menit pada suhu 4, 28, 37, 60, 100 C yang masing-masing suhu dibuat
blanko dan uji. Setelah diinkubasi larutan pati dicampurkan ke dalam 0,2 ml air
liur kemudian diinkubasi kembali selama tepat 1 menit dan ditambahkan larutan iodium
1 ml dalam 8 ml aquadest pada masing-masing tabung, untuk suhu 600 C
dan 1000 C dilakukan di luar penangas, perlakuan tersebut
bertujuan untuk menghindari terjadinya bumping selama proses pemanasan. Setelah
itu dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
680 nm, dan dihitung kecepatan reaksi enzimatik serta dibuat kurva yang
menghubungkan kecepatan reaksi dengan suhu.
Berdasarkan data hasil pengamatan, perubahan absorbansi per menit
yang diperoleh dari absorbansi larutan blanko dan absorbansi larutan uji dapat
dilihat dari kurva disamping. Adapun kurva hasil percobaan memperlihatkan laju
reaksi dari enzim semakin cepat seiring bertambahnya suhu ini terlihat pada
kenaikan suhu dari 4oC hingga 37oC namun ketika suhu
mengalami kenaikan hingga 60oC terjadi penurunan laju reaksi. Kedua
keadaan ini diakibatkan oleh benturan antara enzim dan substrat. Pada keadaan
pertama yaitu 4oC hingga 37oC, telihat peningkatan laju
reaksi akibat adanya gerak termodinamik yang secara perlahan membentuk produk
dan pada titik optimum ( suhu optimum ) yaitu 37oC dapat dikatakan
membentuk secara sempurna karena enzim amylase yang merupakan enzim yang
terdapat tubuh memilki suhu optimum 37oC. pada keadaan kedua yaitu
suhu mengalami kenaikan hingga 60oC, pada keadaan ini perbenturan
antara enzim dan substrat terus berlangsung namun keadaan ini tidak menambah
laju reaksi namun mengurangi laju reaksi ini disebabkan karena enzim mengalami
denaturasi sehingga bangun tiga dimensinya berubah secara bertahap. Jika suhu
jauh lebih tinggi dari suhu optimum, maka makin besar deformasi struktur tiga
dimensi tersebut dan makin sukar bagi substrat untuk menempati secara tepat di
bagian aktif molekul enzim. Akibatnya, kompleks E-S akan sukar terbentuk,
sehingga produk juga makin sedikit dan ini terlihat ( Mohamad Sadikin, 2002 )
dari kurva laju reaksi yang semakin menurun. Dari kurva terlihat bahwa pada
suhu 100 oC terjadi kenaikan nilai absorbansi, sehingga
didapatkan kurva yang tidak sesuai teori. Hal ini disebabkan telalu lamanya
tabung reaksi berada di luar penangas, sehingga diperkirakan suhu dalam tabung
berada di bawah 100 oC pada saat pencampuran sehingga tumbukan
antara enzim dan substrat mengalami penurun dan mendekati suhu optimum sehingga
menghasilkan laju reaksi yang menurun.
Pengaruh
pH
Dari hasil percobaan kami tidak dapat membuktikan bahwa
keasaman mengaruhi kecepatan reaksi enzimatik. Kesalahan ini terletak pada
penambahan air liur yang tidak sesuai dengan prosedur kerja dimana air liur
yang ditambahkan hanya 1ml bukan 2ml yang merupakan tahapan pada prosedur kerja
sehingga hasil absorbansi nilai ∆A/menit menjadi minus. Terlihat pada
kurva di samping. Kurva di samping pun menjadi rancu bila dibandingkan dengan
kurva antara pH larutan enizm amylase dari air liur dengan laju reaksi menurut
Mohamad Sadikin (2002)
Laju
reaksi
plateau
Rentangan pH
optimum
pH
Hubungan antara pH larutan enzim dengan laju
reaksi. Tampak adanya plateau.
Dari
kurva hasil percobaan terlihat semakin tinggi pH semakin tinggi nilai
absorbansi yang menandakan semakin tingginya laju reaksi dari pH 7 ke pH 11.
Pada umumnya enzim bekerja maksimum pada pH 5-9, namun dari kurva kita lihat
enzim amylase dari air liur bekerja semakin tinggi dengan bertambahnya pH (
yaitu pH 11 yang berada di luar kisaran pH untuk enzim bekerja maksimum). Kerja
enzim sebagai katalis dipengaruhi oleh pH. adanya nilai pH tertentu, yang
memungkinkan enzim bekerja maksimum. pH tersebut dinamakan pH maksimum. Dalam
lingkungan keasaman seperti itu, protein enzim mengambil struktur 3 dimensi
yang sangat tepat, sehingga ia dapat mengikat dan mengolah substrat dengan
kecepatan yang setinggi-tingginya. Di luar nilai ph optimum tersebut, struktur
3 dimensi enzim mulai berubah, sehingga substrat tidak dapat lagi duduk dengan
tepat di bagian molekul enzim yang mengolah substrat. Akibatnaya, proses
katalisis berjalan tidak optimum. Oleh karena itu, struktur 3 dimensi berubah
akibat ph yang tidak optimum ( Mohamad Sadikin, 2002).
Dari
pengamatan warna larutan uji, terlihat perbedaan warna yang signifikan antara
larutan pati yang dicampurkan dengan air liur pada pH 7 dan pada pH 11 setelah
ditambahkan larutan iodium. Pada larutan uji pH 7 warna yang dihasilkan yaitu
coklat. Keadaan ini menandakan bahwa enzim amylase pada air liur bekerja
menghidrolisa larutan pati menjadi produk yang terdiri dari glukosa dan
maltosa. Pada pH 7 ini dapat dikatakan sudah tidak adanya karbohidrat ( dari
larutan pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin ) karena dihidrolisis
oleh amylase terlihat dengan tidak didapatkan warna biru kehitaman ( menandakan
adanya amilosa) ataupun merah ungu ( menandakan adanya amilopektin )ketika
ditambahkan larutan iodium. Kerja enzim amylase disini dikatatan sebagai
hidrolisis parsial dan memperlihatkan bahwa enzim amylase berada pada kondisi 3
dimensi yang tepat sehingga dapat mengolah ( menghidrolisis ) karbohidrat dari
larutan pati dengan sangat cepat.
Sedangkan
hasil pengamatan pada pH 11 menunjukan warna biru pada larutan uji setelah
ditambhkan iodium. Ini menunjukan adanya kompleks pati iodium dimana dapat
diindikasikan adanya amilosa yang merupakan bagian dari pati ( karbohidrat ).
Sehingga dapat dikatakan pada pH ini enzim amylase tidak bekerja optimum dalam
menghirdrolis larutan pati karena struktur 3 dimensi dari enzim amylase telah
berubah sehingga tidak dapat mengolah substrat dengan baik.
Pengaruh
konsentrasi enzim
Konsentrasi enzim mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatik.
Pengaruh konsentrasi enzim ini yaitu pembentukan produk, dimana makin besar
konsentrasi enzim makin banyak pula produk yang dihasilkan sehingga dapat
dinyatakan bahwa laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi enzim.
Pada percobaan pengaruh konsentrasi enzim ini, konsentrasi enzim
amylase dari air liur yang berbeda-beda didapatkan dari pengenceran larutan air
liur. Larutan air liur diencerkan menjadi 100x, 200x, 300x, 400x dan
konsentrasi yang di dapat yaitu 0,01; 0,005;0,0025; dan 0,0017. Dari
konsentrasi ini sebelum praktikum kita dapat memprediksikan jika laju reaksi
akan mencapai titik tertinggi pada konsentrasi 0,01 dan titik terendah pada
konsentrasi 0,0017.
Dari hasil percobaan pengaruh konsentrasi enzim terlihat pada
pergerakan laju reaksi dari 0,0017 hingga 0,0025 dimana laju reaksi semakin
meningkat, namun kondisi ini ini terus menurun pada konsentrasi 0,0025 hingga
konsentrasi 0,01. Kondisi ini terlihat dari kurva di samping kanan. Keadaan ini
tidak dapat membuktikan teori yang menyebutkan Hubungan antara laju reaksi
dengan konsentrasi enzim ternyata berbanding lurus. Jadi, makin besar
konsentrasi enzim, maka makin cepat laju reaksi yang tertera pada kurva (
Mohamad Sadikin, 2002).
Kurva yang berbeda pada hasil percobaan dikarenakan adanya
kesalahan dalam prosedur kerja. Kesalahan dalam prosedur kerja ini yaitu
ketidaktelitian dalam pengenceran. Pengenceran yang dimaksud adalah
ketika mengencerkan air liur dari 100x menjadi 200x dan seterusnya.
BAB VI
KESIMPULAN
Dari hasil percobaan maka dapat kami simpulkan
yaitu enzim dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama
yaitu suhu, aktivitas enzim semakin meningkat seiring bertambahnya suhu
terlihat dari laju reaksi namun aktivitasnya menurun setelah melewati suhu optimum.
Faktor kedua yaitu pH dimana terlihat perbedaan warna akibat kerja enzim pada
pH yang berbeda, dan aktivitas enzim dapat dikatakan bekerja cepat dan tepat
pada pH optimumnya. Faktor ketiga yaitu konsentrasi enzim, dimana semakin
tinggi konsentrasi enzim semakin banyak produk yang dihasilkan.
Selain itu dapat kami simpulkan bahwa enzim amylase bekerja
menghidrolis secara parsial larutan pati yang merupakan karbohidrat. Enzim
amylase bekerja maksimum pada pH 7 dan pada suhu 37 0C.
sehingga dapat dikatakan pH 7 merupakan pH optimum dalam kerja enzim amylase.
Sedangakan suhu 37 0C merupakan suhu optimum bagi enzim amylase
dalam melaksanakan kerjanya.
DAFTAR PUSTAKA
Sadikin, Mohamad. 2002. Biokimia
Enzim. Jakarta : Widya Medika.
Soewoto, Hafiz, dkk. 2000. Biokimia Eksperimen
Laboratorium. Jakarta: Widya Medika.
Staf Pengajar Kimia Organik. 2005. Penuntun Praktikum Kimia
Organik untuk Mahasiswa Program D3 Analisis Kimia. Departemen Kimia FMIPA-IPB.
No comments:
Post a Comment