Monday 6 March 2017

DEPRESI


DEPRESI

Gangguan depresif adalah salah satu jenis gangguan jiwa yang paling sering terjadi. Prevalensi gangguan depresif pada populasi dunia adalah 3-8 % dengan 50% kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20-50 tahun. World Health Organization menyatakan bahwa gangguan depresif berada pada urutan keempat penyakit di dunia. Gangguan depresif mengenai sekitar 20% wanita dan 12% laki-laki pada suatu waktu dalam kehidupan. Pada tahun 2020 diperkirakan jumlah penderita gangguan depresif semakin meningkat dan akan menempati urutan kedua penyakit di dunia(1).
      Seseorang dapat terpicu menderita gangguan depresif karena adanya interaksi antara tekanan, daya tahan mental diri dari lingkungan. Pada dasarnya inti dari gangguan depresif adalah kehilangan obyek cinta misalnya kematian anggota keluarga atau orang yang sangat dicintai, kehilangan pekerjaan, kesulitan keuangan, terkucil dari pergaulan sosial, kondisi fisik yang tidak sempurna(1).
      Gangguan depresif merupakan gangguan yang dapat menganggu kehidupan dan dapat diderita tanpa memandang usia, status sosial, latar belakang maupun jenis kelamin. Gangguan depresif dapat terjadi tanpa disadari sehingga penderita terkadang terlambat ditangani sehingga dapat menimbulkan penderitaan yang berat seperti bunuh diri.
      Dilihat dari tingginya angka penderita dan akibat dari gangguan depresif maka gangguan ini perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Farmasis dengan pelayanan kefarmasiannya dapat berperan serta untuk mengindentifikasi gejala gangguan depresif, memberikan konseling tentang terapi yang dipakai, obat yang dikonsumsi, monitoring efek samping obat yang dikonsumsi penderita.














BAB II
DEPRESI

A.    Definisi
            Depresi adalah suatu gangguan mood yang bersifat searah (unipolar), yaitu berupa suatu emosi yang meresap dan menetap berupa perasaan tertekan, yang dalam kondisi ekstrim, sangat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap dunia(2).

B.     Gejala dan tanda
Gejala dan tanda depresi antara lain:
·         Depresi suasana hati
·         Kehilangan minat terhadap kesenangan
·         Insomnia atau hiperinsomnia
·         Penurunan nafsu makan hamper setiap hari
·         Penurunan kemampuan berpikir
·         Keletihan atau kehabisan energy hampir setiap hari
Adapun gejala yang lain yaitu:
            Gangguan fungsional yang signifikan , dipenuhi pikiran tidak wajar mengenaiperasaan tidak berharga, ide bunuh diri, gejala psikosis, retardasi psikomotor(3).

C.    Klasifikasi
Berdasarkan keparahan depresinya, depresi dapat dibedakan menjadi :
a.       Depresi mayor/ depresi berat
      Gangguan mood yang ditandai dengan suasana hati yang tertekan, kurangny minat dalam kegiatan yang biasanya dinikmati, perubahan berat badan dan tidur, kelelahan, perasaan tidak berharga dan salah, kesulitan berkonsentrasi dan pikiran tetntang kematian dan bunuh diri.
      Jika seseorang mengalami sebagian besar gejala-gejala ini lebih lama dari periode 2 minggu, mereka mungkin didiagnosis mengalami depresi berat.
b.      Depresi atipikal
      Penderita kadang-kadang dapat mengalami kebahagiaan dan saat-saat kegembiraan. Gejala depresi atipikal termasuk kelelahan, banyak tidur, makan terlalu banya dan berat badan meningkat.



c.       Dysthimia
      Merujuk pada suatu keadaan depresi ringan atau sedang tetapi kronis. Penderita menjalani kehidupan dengan rasa tidak penting, tidak puas, takut da sama sekali tidak menikmati kehidupan mereka.
d.      Depresi psikotik
      Penderita depresi pssikotik sering kali mengalami halusinasi dan atau delusi yang umumnya terjadi pada seseorang yang menderita skizofrenia(3).

Berdasarkaan waktu terjadinya depresi, depresi dapat diklasifikan menjadi :
a.       Depresi post partum
      Dapat lebih dari sekedar perasaan sedih seteelah melajirkan. Hal ini dapat berkisar dari gejala ringan yang hilang sendiri tanpa pengobatan hingga ke gejala psikosis postpartum, yang jika tidak diobati mungkin dapat menyebabkan pembunuhan tragis pada anak-anak.
b.      Premenstrual Dysphoric Disorder
      Yang paling sering dilaporkan adalah lekas marah, kelelahan, kegelisahan, ketegangan syaraf, perubahan suasana hati, depresi, merasa kewalahan atu diluar kendali.
c.       Depresi musiman
      Umumnya terjadi pada negara-negara empat musim dimana depresi kambuh pada musim ingin, dan akn membaik lagi pada musim dingin atau panas(3).

D.    Tujuan terapi
            Menurunkan gejala depresi dan memfasilitasi pasien untuk kembali ke kondisi normal(2).

E.     Sasaran terapi
            Perubahan biologis atau efek berupa mood pasien, karena mood pasien dipengaruhi kadar serotonin dan nor epinefrin di otak. Sasarannya adalah modulasi serotonin dan noreinefrin otak dengan agen-agen yang sesuai(2).

F.     Strategi Terapi
            Menggunakan terapi obat anti depresan yang dapat memodulasi kadar serotonin dan nor-epinefrin di otak(2).




G.    Teori Singkat Terkait Kasus
Golongan obat antidepresan dan mekanisme aksinya(4) :
Golongan
Mekanisme aksi
Anti depresan trisiklik
Menghambat reuptake 5-HT/NE secara tidak selektif
SSRIs (Selective serotonin reuptake inhibitors)
Menghambat secara selektif reuptake 5-HT
Mixed DA/NE reuptake inhibitor
Menghambat reuptake DA/NE secara tidak selektif
MAO inhibitors
Menghambat aktivitas enzim MAO
           
Profil efek samping relatif obat antidepresan(4) :
            Obat – obat yang berinteraksi dengan TCA (tricyclic antidepressant) sehingga mempengaruhi profil farmakokinetikanya(4) :
            Obat – obat yang berinteraksi dengan TCA (tricyclic antidepressant) sehingga mempengaruhi profil farmakodinamiknya(4) :




            Algoritma tatalaksana depresi pada depresi yang tidak terkomplikasi(4) :
                       

            Ketika evaluasi dilakukan, beberapa obat saling berinteraksi dimana hal yang paling utama adalah             interaksi yang  berpengaruh  significant  terhadap klinis. Interaksi ditandai berdasarkan nomor signifikansi sebagai berikut :
1.      Level Signifikansi 1, Risiko yang ditimbulkan berpotensial mengancam individu atau dapat mengakibatkan kerusakan yang permanen.
2.      Level Signifikansi 2, Efek yang timbul akibat penurunan dari status klinik pasien sehingga dibutuhkan terapi tambahan atau perawatan di rumah sakit.
3.      Level Signifikansi 3, Efek yang dihasilkan ringan; akibatnya mungkin dapat menyusahkan atau tidak dapat diketahui tetapi secara signifikan tidak mempengaruhi terapi sehingga treatment tambahan tidak diperlukan.
4.      Level Signifikansi 4, Efek yang dihasilkan dapat berbahaya dimana respon farmakologi dapat berubah sehingga diperlukan terapi tambahan.
5.      Level Signifikansi 5, Efek yang dihasilkan ringan dimana respon klinik dapat berubah namun ada beberapa yang tidak merubah respon klinik(5).



BAB III
KASUS

Kasus 
            Ny. Sinta, 40 th, 1 bulan terakhir, merasakan nafsu makannya hilang, kehilangan semangat untuk melakukan aktivitas apapun, kesulitan tidur/insomnia, sehingga pekerjaannya sebagai seorang akuntan terbengkalai.  Hal ini dirasakan sejak suami Ny. Sinta meninggal dunia akibat suatu kecelakaan.  Sejak awal menjadi seorang akuntan, Ny.Sinta dikenal seorang yang workaholic. Kebiasaan Ny.Sinta berupa makan yang tidak teratur, selain juga kesibukannya yang luar biasa, mengakibatkan Ny.Sinta mengalami ulkus peptikum. Simetidin 400 mg tablet, 2 x sehari, yang diminum Ny.Sinta dapat mengatasi gangguan tersebut. Berdasarkan gejala yang dialami Ny.Sinta saat ini, Ny. Sinta didiagnosa mengalami depresi. Terapi yang diberikan untuk Ny.Sinta adalah amitriptilin 125 mg tablet, 1 x sehari.
            Bagaimana aplikasi pharmaceutical care / asuhan kefarmasian untuk kasus tersebut?
            Dan parameter apa yang perlu dimonitoring?
            Penyelesaian klisis kasus berdasarkan metode FARM :
·         Finding :
Nama
Ny. Sinta
Umur
40 th
Diagnosa
Depresi
Riwayat Penyakit
Ulkus peptikum
Riwayat Pengobatan
Simetidin 400 mg tablet, 2 x sehari
Tearapi Awal
Amitriptilin 125 mg tablet, 1 x sehari
Gejala atau Keluhan
Kehilangan nafsu makan, semangat untuk melakukan aktivitas, dan kesulitan tidur atau insomnia.










·      Assessment, Resolution dan Monitoring
Assesment
Keterangan
Resolusi
Monitoring
Medical Problem
Terapi
DRP’s
Ulkus peptikum










































Depresi
Simetidin 400 mg tablet, 2 x sehari.








































Amitriptilin 125 mg tablet, 1x sehari.
Interaksi obat.










































Dosis obat tidak tepat.

Penggunaan simetidin bersamaan dengan antidepresan golongan TCA dapat meningkatkan kadar TCA dalam plasma, sehingga dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan(4).
Dengan meningkatnya kadar TCA dalam plasma, dapat meningkatkan kadar serotonin mencapai tingkat yang membahayakan yang dapat berakibat fatal yaitu menimbulkan sindrom serotonin, yang ditandai dengan takikardia, hiperaktif, hipertensi, krisis hiperpiretik, dan kejang parah(3). Interaksi antara kedua obat ini termasuk dalam level signifikansi 1, dimana risiko yang ditimbulkan berpotensial mengancam individu atau dapat mengakibatkan kerusakan yang permanen(5).





Penggunaaan amitriptilin sebagai antidepresan sudah tepat, untuk mengatasi gejala kehilangan nafsu makan, kehilangan semangat untuk melakukan aktifitas, dan kesulitan tidur atau insomnia.
Pada terapi awal depresi digunakan TCA dengan dosis rendah 25mg/hari(3).
Digunakan ranitidin yang memiliki efektifitas yang sama seperti simetidin, yang merupakan antagonis reseptor H2. Ranitidin mempunyai masa kerja lebih panjang dan memiliki efek samping yang minimal. Tidak seperti simetidin, obat ini tidak menghambat system oksigenase fungsi campuran didalam hati, sehingga tidak mempengaruhi konsentrasi obat-obat lain(6).
Dengan dosis 150mg  2x sehari (pagi dan malam)(2).
















Digunakan dosis sebesar 25mg/hari, karena efek sedasinya tinggi amitriptilin dianjurkan untuk digunakan sebelum tidur.  Pada depresi yang parah, dosis dapat ditingkatkan hingga 150mg/hari secara bertahap. Rentang dosis lazim amitriptilin yaitu 100-300mg/hari(3).

Monitoring efektivitas terapi
Dilakukan pemantauan hasil terapi dengan monitoring terhadap gejala dan tanda klinis penggunaan ranitidine dengan dosis 150mg 2x sehari. Parameter yang harus dipantau dalam penggunaan ranitidin antara lain yaitu berkurangnya gejala ulkus peptikum atau berkurangnya rasa tidak nyaman pada bagiaan perut.

Monitoring reaksi obat yang tidak dikehendaki
Dilakukan pemantauan terhadap efek samping obat seperti sakit kepala, pusing, diare dan nyeri otot(2).

Monitoring ketaatan
Dilakukan pemantauan kepada pasien dalam menggunakan obat, apakah pasien taat, dan mendapatkan dosis yang cukup untuk periode yang cukup atau tidak(1).

Monitoring efektivitas terapi
Dilakukan pemantauan hasil terapi dengan monitoring terhadap gejala dan tanda klinis penggunaan amitriptilin dosis 25 mg/hari. Parameter yang harus dipantau dalam penggunaan amitriptilin antara lain yaitu hilangnya gejala depresi, perbaikan fungsi sosial dan okupasional, ada tidaknya keinginan dan ide bunuh diri(3).
Monitoring reaksi obat yang tidak dikehendaki. Dilakukan pemantauan terhadap efek samping obat seperti sedasi dan mulut kering, interaksi obat, dan alergi dan diatasi jika memungkinkan.
Pasien bukan termasuk dalam golongan geriatri sehingga tidak memiliki faktor resiko terjadinya hipotensi postural dan hipotensi ortostatik(3).

Monitoring ketaatan.
Dilakukan pemantauan kepada pasien dalam menggunakan obat. Apakah pasien taat, dan mendapatkan dosis yang cukup untuk periode yang cukup atau tidak. Monitoring terhadap kadar TCA dalam plasma juga perlu untuk dilakukan(1).


Contoh obat yang beredar dipasaran
Amitriptilin : Amitriptyline Tab. 25 mg, 50 mg, 75 mg,  Trilin (Harsen) Tab. 25 mg.
Ranitidin : Ranitidine ( Hexpharm) Tab 150 mg Rp. 23.000, Ranitidine (Soho) Ampul 25 mg/ml Rp. 11.000,

Terapi non Farmakologi
·         Terapi interpersonal (IPT)
Mengalihakan perhatian Ny. Sinta, yang telah terdistorsi oleh depresi.
·         Psikoterapi (Psychoeducation) untuk meningkatkan kepatuhan Ny. Sinta terhadap penggunaan obat dan mengurangi kekambuhan, meningkatkan kualitas hidup.
  • Intervensi keluarga, untuk meningkatkan fungsi sosial, pekerjaan dan mengelola stress.
  • Perhatian yang cukup terhadap kesehatan tidur, termasuk mengurangi konsumsi kafein, menghindari alkohol, olahraga yang cukup, dan waktu tidur-bangun yang teratur sering mengurangi gejala insomnia.

















DAFTAR PUSTAKA

1.      Anonim, 2007, Pharmaceutical Care untuk Penderita Gangguan Depresi, Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik,  Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
2.      Iskandar, Ellin Yulinah, Andrajati, Retnosari, Sigit, Joseph I., Adnyana, I Ketut, Setyadi, A. Adji Prayitno, Kusnandar, 2009, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta
3.      Ikawati, Zullies, 2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat, Bursa Ilmu, Yogyakarta
4.      Dipiro, Joseph T, 2008, Pharmacoterapy a Pathophysiologic Approach 7th edition, McGraw Hill Medical Publishing Division, USA
5.      Tatro, D.S, 2001, Drug Interaction Facts 6th edition, Facts And Comparison, a Wolter Kluwers, St. Louis
6.      Mycek, Mary J,Richard A. Harvey, Pamela C. Champey , 1997, Lippincott’s, ileustrated preview’s : Pharmacology, diterjemahkan oleh Azwar Agoes, Widya Medika, jakarta,


No comments:

Post a Comment

PENGELOLAAN ALAT KESEHATAN DI RUMAH SAKIT

PENGELOLAAN ALAT KESEHATAN DI RUMAH SAKIT            Berbagai peralatan yang diperlukan di Rumah Sakit seperti alat untuk menginfus da...